Lompat ke konten

Arsitektur dan Integritas

Bila kita berkaca pada arsitektur tradisional/nusantara, arsitektur sanggup melampaui batas-batas fisik (fungsi arsitektur).  Arsitektur juga dipakai sebagai medium bagi makna kehidupan yang lebih luas (nenek moyang kita menitipkan warisan makna di berbagai hal, tidak hanya melalui elemen arsitektur, tetapi juga melalui dongeng/cerita rakyat, lagu daerah, motif ornamen, motif tenun, motif batik, dll).  Misalnya dalam tata ruang kampung adat sunda, sampai sekarang wilayahnya terbagi menjadi 3 bagian, yaitu: permukiman, perkebunan, hutan keramat.

Arsitektur tidak hanya tentang tipologi rumahnya (yang juga banyak makna) tetapi juga keseimbangan lingkungan alamnya yang terbukti Iestari. Bumi kita akan memiliki keseimbangan alam yang baik bila prinsip ini dipakai pada setiap perencanaan lahan.

Pada motif dayak perintai lima memiliki makna peringatan pada manusia untuk memelihara kelestarian hutan agar tidak rusak Oleh ulah manusia sendiri. Tampaknya peringatan ini sudah dilupakan, setiap tahun 1,5-2 juta hektar hutan di Indonesia hilang akibat berubah fungsi.

Tentu saja keseimbangan alam terganggu, gajah, orangutan, burung, dan lain lain kehilangan tempat tinggal. Motif dayak dengan makna yang adiluhung menjangkau kelestarian masa depan, telah melampaui fungsinya sebagai ornamen semata. Lagi-lagi (elemen) arsitektur sebagai medium makna dapat melampaui fungsi arsitektur semata.

Demikian pula proses upacara dalam pendirian banyak rumah adat di indonesia seringkali berhubungan dengan kepercayaan masyarakatakan nilai-nilai ilahi, kesejahteraan dan keselamatan warga, juga penghormatan/penghargaan terhadap alam. Budaya upacara tersebut diwariskan turun temurun menjadi tradisi. Tradisi melahirkan integritas masyarakatnya apabila memahami dan menghidupi makna yang terkandung dalam tradisi tersebut.

Integritas.

Pentingnya integritas (budaya tradisi, cara memandang hidup, cara menjalani hidup) seringkali dijaga dengan cara membatasi pengaruh luar modernisasi. Misalnya lagi di kampung2 adat sunda, modernisasi dibatasi atau dilarang. Pelestarian budaya adat membuatnya menjadi latar pembelajaran banyak pihak, termasuk peneliti2 luar negeri. Kampung adat menjadi menarik karena berani berbeda.

Tidak mudah larut dalam globalisasi keseragaman. Bahkan dalam beberapa kampung, jumlah warga dibatasi, kemungkinan juga karena kesadaran atas keterbatasan daya dukung lingkungan. Hal ini bertolak belakang dengan kecenderungan ‘manusia modern’ yang relatif lebih suka mengeksploitasi alam demi keuntungan sesaat.

Dapat dibayangkan betapa sulitnya warga kampung adat itu memelihara integritas (nilai2 hidupnya) dalam menghadapi kecepatan perubahan jaman. Beberapa juga terjadi asimilasi tanpa meninggalkan akar budayanya.

Melalui integritas, nilai-nilai kebijaksanaan filosofi hidup terpatri dalam cara hidup keseharian. Arsitektur bukan hanya tentang proporsi, komposisi, teknis konstruksi tetapi juga tentang menemukan diri. Budaya membantu manusia menemukan dan memiliki integritas.

Dalam dunia saat ini, manusia dituntut berjalan makin cepat, bertindak cepat, berpikir cepat. Tidak ada cukup ruang dan waktu bagi perenungan. Mungkin juga bagi budaya. Perlahan-lahan tapi pasti, kita sedang menyaksikan evolusi pemusnahan budaya yang beragam. Keseragaman (arsitektur) terjadi dari aceh sampai papua.

Arsitektur tradisional hanya masa lalu yang layak dilestarikan saja tanpa dikembangkan sesuai konteks masa kini, seolah-olah seperti itulah yang terjadi. Manusia yang meninggalkan budaya seringkali juga melupakan pentingnya integritas. Larut dalam arus dunia (yang lebih mementingkan popularitas).

Keberpihakan

Ilmu pengetahuan dikembangkan untuk kesejahteraan semua mahluk. Arsitektur bukan hanya untuk melayani dirinya sendiri. Arsitektur merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari lingkungan alam, budaya, dan kemanusiaan (selain hal-hal teknis teknologinya). Dengan demikian, arsitek bersama arsitekturnya perlu menempatkan diri dalam konteks persoalan yang dihadapi alam, budaya, dan manusia.

Alam

Sungguh sayang, arsitektur selama ini cenderung dimiskinkan dengan hanya melayani kepentingan ekonomi. (Keseimbangan) Alam merupakan hal paling pertama yang dikorbankan. Koefisien Dasar Bangunan/KDB hanya hitungan matematis dan diakali. Ruang bawah tanah diberikan koefisien yang lebih besar dari KDB. Sisa KDB dijadikan area perkerasan parkir. Ruang terbuka hijau nyaris nihil. Pepohonan hanya pemanis yang dibuat-buat. Arsitektur hanya barang dagangan, yang mudah dilacurkan untuk kepentingan ekonomi. I-Jang rajanya. Apapun dapat dibeli. Arsitek tak berdaya.

Peraturan mandeg demi uang pelicin yang besar. Seolah-olah ekonomi adalah monster rakus kekanak-kanakan yang harus selalu menang, tidak bisa dihentikan. Alam jadi bulan-bulanan. Berarsitektur makin sulit dan mahal ketika alam makin rusak.

Budaya

Bumi diciptakan Sang Pencipta dengan beraneka kondisi alam. Konteks berbeda-beda melahirkan budaya yang juga beraneka ragam. Budaya dan kondisi alam yang bhineka melahirkan pula arsitektur yang bhineka. Namun kecenderungan era globalisasi dan informasi ini justru keserupaan dan keseragaman. Kekayaan (arsitektur) nusantara berada terutama di bawah tanggung jawab arsitek yang dilahirkan dan dibesarkan di tanah Indonesia .

Pengembangan arsitektur nusantara dalam konteks kekinian terutama merupakan tantangan arsitek-arsitek indonesia, yang juga telah diperkaya oleh ilmu-ilmu arsitektur yang sebagian besar tumbuh di barat.

Kekayaan warisan masa lalu sepantasnya pula melahirkan karya-karya arsitektur nusantara mengkini yang kaya dan bhineka. Karya-karya tersebut akan menjadi karya-karya arsitektur yang khas dan berakar pada budaya Indonesia (yang beragam). Dan selanjutnya dapat ikut memberi warna pada kebhinekaan arsitektur dunia.

Manusia

Keberpihakan arsitektur tidak lengkap tanpa melayani kemanusiaan. Arsitektur merupakan kebutuhan semua manusia tanpa kecuali dan tidak terbatas oleh kalangan ekonomi atas saja. Namun selama ini arsitektur lebih condong melayani kebutuhan ekonomi semata-mata (seringkali juga alam dan budaya dikorbankan). Kemiskinan adalah keniscayaan yang hadir di semua negara.

Angka kemiskinan di Indonesia cenderung tinggi dan kalangan hampir miskin sangat rentan untukjatuh miskin ketika berhadapan dengan aneka kenaikan harga atau krisis.

Perhatian lebih banyak hendaknya diberikan kepada golongan yang lebih lemah. Kenyataannya pemerintah kota pada umumnya lebih berpihak kepada kepentingan golongan menengah dan atas, termasuk menyerahkan kebijakan pada hukum rimba pasar yang tidak adil.

Pemilik modal besar makin menguasai pusat-pusat kota. Masyarakat kecil semakin tersisih ke pinggiran kota dengan biaya transportasi yang lebih mahal dan waktu bersama keluarga yang makin sedikit.

Di banyak kota di Indonesia, perkembangan mini-supermarket dan mal menjamur di berbagai pelosok. Warung-warung rakyat kecil dan pasar tradisional makin sulit bertahan karena tidak terlindungi dan dibiarkan melawan hukum rimba ekonomi.

Jauh lebih sulit menemukan mahasiswa dan arsitek Indonesia yang hebat mendesain pasar tradisional daripada fasilitas komersial mewah. Lebih sulit pula menemukan fasilitas pedagang kaki lima yang dirancang dengan baik daripada berita-berita pengusurannya di berbagai kota.

Arsitek merupakan profesi yang sangat mudah dimanfaatkan untuk kepentingan pemilik modal sebagai pemberi tugas. Arsitek dengan demikian menjadi profesi yang sangat rentan. Bila bertemu dengan pemberi tugas yang peduli pada alam, budaya, dan manusia, maka arsitek diuntungkan karena mengerjakan karya yang juga akan bernilai positif.

Tapi sebaliknya bila pemberi tugas hanya mementingkan nilai ekonomi semata-mata, menghalalkan segala cara untuk keuntungan ekonomi saja, arsitek pun ikut terlibat di dalamnya. Namun arsitek sebetulnya juga memiliki pilihan.

Pilihan untuk menjaga integritas, melalui proses diskusi memberikan banyak pertimbangan kepada pemberi tugas untuk juga peduli kepada alam, budaya, dan manusia. Atau menolak pekerjaan- pekerjaan yang bertentangan dengan hati nurani (walaupun memiliki nilai ekonomi yang besar).

Betapa terlalu banyak sudah proyek-proyek yang merusak alam, budaya, manusia. Betapa terlalu banyak sudah kebocoran uang rakyat pada proyek-proyek gedung pemerintah di negara ini.

Tapi masih bisakah arsitek Indonesia menolak pekerjaan? Apakah integritas masih dipentingkan? Apakah arsitek hanya bisa menunggu? Atau masih bisa ‘menciptakan’ kesempatan untuk berkarya demi kebaikan alam, budaya, manusia?