Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata warisan berarti “sesuatu yang diwariskan”, seperti rumah, lahan, uang, dan sebagainya. Warisan juga dapat merujuk pada harta atau kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal.
Rumah sering kali menjadi harta warisan yang ditinggalkan oleh orang tua. Harta ini harus dibagi kepada anak-anaknya. Lalu seperti apa cara pembagian warisan berupa rumah?
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), pembagian warisan diatur dalam Pasal 830 hingga Pasal 1130. Yakni mengatur tentang siapa saja yang berhak menerima warisan, bagaimana cara pembagiannya, serta hak dan kewajiban ahli waris.
Jika menggunakan Hukum Waris Perdata di mana berlaku KUHPerdata, maka perlu diketahui terlebih dahulu pemahaman dasar dari golongan ahli waris menurut KUHPerdata. Golongan tersebut terdiri dari golongan I, II, III, dan IV, yang diukur menurut jauh-dekatnya hubungan darah dengan si Pewaris, di mana golongan yang lebih dekat menutup golongan yang lebih jauh, yaitu :
- Golongan I : suami/Isteri yang hidup terlama, dan anak/keturunannya;
- Golongan II : orang tua dan saudara kandung pewaris;
- Golongan III : keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah orang tua Pewaris;
- Golongan IV : paman/bibi dari Pewaris, baik dari pihak ibu maupun dari pihak ayah, atau keturunan dari paman/bibi sampai derajat ke enam dihitung dari Pewaris dan saudara dari nenek dan kakek beserta keturunannya sampai derajat keenam dihitung dari Pewaris.
Misalnya, orang tua A sudah meninggal dan mewariskan sebuah rumah kepada tiga anaknya, yaitu A, B, dan C. Jika menggunakan KUHPerdata, maka masing-masing anak mendapatkan jatah yang sama, yaitu 1/4 bagian.
A, B, dan C masing-masing memiliki keluarga. Namun, C sudah meninggal.
Karena warisan yang ditinggalkan berupa rumah, A mengambil inisiatif untuk menjualnya dan membagikan uang hasil penjualannya itu kepada ahli waris lainnya.
Karena C sudah meninggal, maka yang berhak mendapat warisan dari orang tuanya adalah anak-anaknya. Anak dari C berhak mendapatkan itu karena ia merupakan ahli waris pengganti. Sebab, jika anak-anak Pewaris ini meninggal lebih dulu dari Pewaris, maka yang menggantikan kedudukan orang tuanya, adalah anak/keturunannya, yaitu sebagai Ahli Waris Pengganti.
Ahli Waris karena penggantian tempat diatur dalam Pasal 841 dan 842 KUH Perdata sebagai berikut:
- Pasal 841 KUH Perdata: “Penggantian memberikan hak kepada orang yang mengganti untuk bertindak sebagai pengganti dalam derajat dan dalam segala hak orang yang digantikannya.”
- Pasal 842 KUH Perdata: “Penggantian yang terjadi dalam garis lurus ke bawah yang sah, berlangsung terus tanpa akhir. Penggantian itu diizinkan dalam segala hak, baik bila anak-anak dan orang yang meninggal menjadi ahli waris bersama-sama dengan keturunan-keturunan dan anak yang meninggal lebih dahulu, maupun bila semua keturunan mereka mewaris bersama-sama, seorang dengan yang lain dalam pertalian keluarga yang berbeda-beda derajatnya.”
Lebih lanjut, J. Satrio dalam bukunya Hukum Waris (hal. 56) menyatakan:
Ahli waris karena penggantian tempat adalah ahli waris yang merupakan keturunan/keluarga sedarah dari pewaris, yang muncul sebagai pengganti tempat orang lain, yang seandainya tidak mati lebih dahulu dari pewaris.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa yang berhak menggantikan tempat anak Pewaris (jika anak Pewaris telah meninggal lebih dahulu) sebagai ahli waris adalah keturunan sedarahnya, yaitu anak-anaknya. Dengan ketentuan mereka secara bersama-sama bertindak dengan derajat yang sama dan hak yang sama dengan ahli waris lainnya, yaitu anak-anak Pewaris yang masih hidup.
Maka dari itu, para Ahli Waris yang berhak mendapatkan uang hasil penjualan rumah orang tua A (Pewaris), adalah:
- 2 (dua) orang Anak Pewaris yang masih hidup.
- Anak-anak dari C, Anak Pewaris yang telah meninggal dunia lebih dulu dari Pewaris (cucu dari Pewaris) berdasarkan penggantian, jika orang tuanya telah meninggal lebih dulu dari Pewaris.
Pihak Yang Tidak Sah Menerima Pembagian Warisan
Salah satu penyebab pembagian warisan yang tidak sah adalah melanggar “Legitimate Portie” yang artinya adalah bagian minimum dari harta warisan yang harus diwariskan kepada ahli tertentu (seperti anak yang sah) sesuai dengan ketentuan hukum, nah apabila bagian ini tidak diberikan maka pembagian tersebut dianggap tidak sah.
Kemudian ada juga penyebab lainnya yaitu “Pembagian Tanpa Persetujuan Semua Ahli Waris Yang Sah”, Dimana apabila pembagian warisan dilakukan tanpa persetujuan atau tanpa melibatkan ahli waris yang sah, terutama dalam hal pembagian warisan yang tidak dapat dibagi tanpa melibatkan sang ahli waris maka pembagian tersebut tidak sah.