Kuota Rumah Subsidi Habis
Pembeli rumah sejak dini harus menjadi salah satu prioritas dalam membuat future plan bagi diri sendiri. Sebab, rumah adalah tempat awal seseorang mengawali aktivitas sehari-hari. Apabila rumah nyaman, maka aktivitas sehari-hari pun dapat dilaksanakan dengan maksimal. Itulah mengapa membeli rumah dalam waktu dekat sangat penting, karena harga rumah yang terus naik, lahan untuk hunian makin terbatas, hingga mahalnya harga material bangunan.
Guna membantu permintaan yang tinggi terhadap rumah, pemerintah turut memberikan wadah bagi masyarakat, khususnya masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Fasilitas tersebut berupa Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). FLPP digagaskan oleh pemerintah dalam rangka mendorong jalannya program Sejuta Rumah untuk Rakyat yang sedang berjalan beberapa tahun terakhir.
Beberapa kelebihan fasilitas FLPP ini cukup memudahkan masyarakat, seperti uang muka ringan mulai dari 1%, bunga flat 5% sampai akhir masa tenor, rumah yang dibeli bebas PPN, hingga bebas premi asuransi kerugian dan jiwa.
Fasilitas tersebut sungguh menguntungkan masyarakat dalam membeli rumah. Meski begitu, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi seperti maksimum penghasilan sebesar Rp 4 juta untuk rumah tapak dan Rp 7 juta untuk high rise, belum memiliki rumah, hingga belum pernah menerima subsidi pemerintah.
Kondisi tersebut membuat ketertarikan masyarakat cukup tinggi dalam membeli rumah. Sejauh ini, FLPP yang telah tersalurkan senilai Rp 5,57 triliun untuk pembangunan sebanyak 57.949 unit rumah per 17 September lalu. Jumlah tersebut sudah memenuhi 78,5% dari alokasi FLPP yang ditargetkan sebanyak Rp 7,1 triliun untuk 68.000 unit rumah.
Walaupun banyak fasilitas yang telah diberikan pemerintah, penggunaannya berbanding lurus dengan kebutuhan rumah yang tinggi dari masyarakat. Kondisi tersebut menyebabkan FLPP tahun 2019 langsung menipis cepat.
Menanggapi masalah tersebut, pemerintah langsung bertindak cepat dengan memunculkan Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT) sebagai solusi alternatif untuk mensiasati menipisnya kouta rumah subsidi.
Hampir sama dengan FLPP, BP2BT digagaskan untuk memudahkan masyarakat dalam membeli rumah. Bedanya, masyarakat tidak mendapatkan SBUM (Subsidi Bantuan Uang Muka) dan bunga subsidi, tetapi masyarakat dibantu oleh pemerintah berupa uang muka di depan dengan nominal mulai Rp 22 hingga Rp 30 juta.
Prosedur dari program ini dimulai dari konsumen mencicil tabungan di bank minimal enam bulan dengan jumlah tabungan 5% dari harga rumah. Selanjutnya, apabila konsumen mengajukan keinginan untuk membeli rumah, Satuan Kerja Kementerian PUPR serta persetujuan bank akan memproses hal tersebut dan konsumen mendapatkan dana subsidi dari pemerintah.
Dalam hal ini, bantuan yang diberikan pemerintah adalah perbandingan terendah antara bantuan BP2BT yang diterima dengan indeks terhadap nilai rumah dikali harga rumah. Pemerintah pun membagi dua kelompok bantuan BP2BT, yakni Rp 32,4 juta untuk kelompok berpenghasilan minimal kurang dari Rp 3 juta, dan Rp 21,4 juta untuk penghasilan maksimal Rp 8,5 juta.
Seperti contoh, seseorang berpenghasilan Rp 3 juta akan membeli rumah seharga Rp 100 juta, maka perbandingannya adalah Rp 3 juta dengan Rp 100 juta dikali 38,8% (indeks terhadap rumah). Dengan begitu, bantuan yang akan diterima adalah Rp 38,8 juta. Semakin sedikit penghasilan yang didapat, akan semakin besar bantuan yang diterima.
Meski BP2BT terlihat menguntungkan, nyatanya program ini masih kurang populer di kalangan masyarakat. Hal tersebut dikarenakan suku bunga BP2BT bersifat komersial dan sertifikat laik fungsi (SLF) belum siap di seluruh daerah.
Tidak hanya itu, ketentuan terkait posisi tabungan yang harus dimiliki konsumen dalam jangka waktu 6 bulan sejak pengajuan pembelian rumah dinilai memberatkan. Di samping itu juga, adanya ‘kegalauan’ masyarakat terkait penambahan kuota FLPP yang akan diberi oleh pemerintah, sehingga masyarakat masih menunggu realisasi keputusan tersebut.
Tidak hanya memberatkan dari sisi masyarakat, BP2BT pun dianggap menyulitkan para pengembang dalam pengaplikasiannya di lapangan. Kondisi dari pemerintah daerah yang belum siap dalam pembangunan perumahan bersubsidi menjadi salah satu alasan. Penerbitan SLF yang belum menyeluruh, dapat menjadi bumerang tersendiri bagi pengembang dalam menjual rumah bersubsidi.
Walaupun memiliki sisi positif dan negatif dari BP2BT, bantuan pembiayaan yang dicanangkan oleh pemerintah bagi masyarakat Indonesia ini termasuk pendorong utama masyarakat untuk dapat memiliki rumah. Apalagi dengan berbagai wadah yang sudah diberikan, dapat memudahkan masyarakat untuk mengutamakan ‘beli rumah’ dibandingkan menghabiskan uang untuk konsumtif lainnya.