Kalangan pengembang properti membenarkan pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang menyebut permintaan di sektor perumahan melemah. Namun, Wakil Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia (REI) Bambang Ekajaya menilai kondisi itu bukan hanya disebabkan oleh daya beli yang menurun, melainkan juga akibat gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di sejumlah sektor.
“Sebenarnya pelemahan di sektor perumahan terjadi karena pelemahan perekonomian kita,” kata Bambang. “Di awal kuartal I sebenarnya perumahan masih bergerak naik di dua digit, tapi menjelang kuartal III terjadi tren penurunan. Pertumbuhannya jadi single digit, tapi masih terjadi pertumbuhan yang positif, hanya terjadi pelemahan,” jelasnya lebih lanjut.
Menurut Bambang, pemerintah sejatinya sudah banyak memberikan dukungan bagi sektor properti.
Ia mencontohkan kebijakan Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) yang masih berlaku hingga 2027 serta skema Kredit Usaha Rakyat (KUR) Perumahan yang kini tidak hanya menyasar konsumen, tetapi juga para pengembang berskala menengah.
Skema tersebut, kata Bambang, memungkinkan pengembang menengah memperoleh empat kali plafon pinjaman hingga Rp 5 miliar, atau total maksimal Rp 20 miliar, dengan bunga yang sebagian disubsidi pemerintah sebesar 6 persen.
Melalui mekanisme ini, pengembang diharapkan tetap bisa membangun proyek rumah rakyat dengan biaya modal yang lebih ringan di tengah tekanan pasar.
“Artinya pemerintah sudah banyak berbuat untuk mengakselerasi pertumbuhan sektor properti, hanya problem-nya ada di daya beli masyarakat yang menurun dan terjadi PHK di beberapa sektor, membuat terjadi pelemahan sektor perumahan,” jelasnya.
Bambang menilai langkah selanjutnya yang perlu dilakukan pemerintah adalah mempercepat pemulihan ekonomi agar pertumbuhan dapat kembali kuat dan membuka lebih banyak lapangan kerja. Dengan begitu, daya beli masyarakat bisa pulih dan permintaan rumah meningkat lagi.
“Jadi yang utama bagi pemerintah tentu peningkatan pertumbuhan ekonomi agar target 8 persen bisa tercapai, sehingga tercipta lapangan kerja yang masif. Ujungnya meningkatnya daya beli masyarakat sehingga sektor properti akan meningkat,” katanya.
Ia juga menegaskan pentingnya sektor properti sebagai penggerak ekonomi nasional karena melibatkan ratusan industri turunan dan didominasi oleh produk dalam negeri.
“Jangan lupa sektor properti, khususnya perumahan, menjadi lokomotif 187 industri, dan lokal kontennya praktis 100 persen,” ujarnya.
Sebelumnya, Purbaya mengungkapkan rendahnya penyerapan dana pemerintah oleh Bank Tabungan Negara (BTN) mencerminkan lemahnya aktivitas ekonomi di sektor properti.
Dalam rapat kerja dengan Komite IV DPR RI di Jakarta, Senin (3/11), ia menyebut BTN hanya mampu menyalurkan Rp 4,8 triliun dari total penempatan dana Rp 25 triliun atau sekitar 19 persen per 30 September 2025.
“Ini menggambarkan demand di sektor perumahan lemah sebetulnya, jadi saya pikir, ‘Waduh gawat kita nih,'” ujar Purbaya. Ia menilai lesunya penyaluran kredit perumahan tidak lepas dari belum pulihnya daya beli masyarakat.
Namun, Purbaya optimistis kondisi lesunya sektor perumahan bersifat sementara. Ia memperkirakan pendapatan masyarakat akan membaik secara bertahap hingga 2026, seiring meningkatnya peredaran uang di sistem keuangan nasional dan pulihnya aktivitas ekonomi.
Kebutuhan Perumahan Meningkat Tapi Permintaan Turun
Di tengah kebutuhan perumahan yang terus meningkat, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa justru mengungkapkan pembelian rumah menurun. Menurutnya, permintaan terhadap rumah justru melemah, sehingga menyebabkan penyerapan dana pemerintah yang ditempatkan di Bank Tabungan Negara (BTN) masih rendah.
Berdasarkan datanya, penyerapan dana yang ditempatkan di Bank Tabungan Negara (BTN) sebesar Rp25 triliun sejak September 2025 baru terealisasi 19 persen saja.
“Alhamdulillah saya sebar di lima bank Rp200 triliun itu di Mandiri, BRI, BNI, BTN, BSI rata-rata penyerapannya sudah lumayan deh, kecuali BTN baru 19 persen, uangnya akan saya pindahkan ke tempat lain nanti,” ujar Purbaya dalam Rapat Kerja dengan Komite IV DPR RI, Jakarta Pusat
Pernyataan Purbaya tersebut justru membuat bingung mengingat pemerintah beberapa kali menekankan backlog perumahan masih cukup tinggi di Tanah Air. Backlog perumahan adalah kesenjangan antara kebutuhan rumah dengan jumlah rumah yang tersedia dan layak huni di suatu wilayah.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang telah diserahkan ke Kementerian Perumahan dan Kawasan Pemukiman, backlog perumahan mencapai 15 juta keluarga. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana mungkin kebutuhan begitu besar, tetapi permintaan pasar justru lesu? Apakah masyarakat sudah tidak ingin membeli rumah, atau justru tidak mampu lagi?
Praktisi Hukum Joni & Tanamas, Muhammad Joni menilai akar persoalannya terletak pada lemahnya ekosistem perumahan nasional. Masalahnya bukan karena masyarakat tidak butuh rumah, melainkan karena daya beli mereka terus tergerus.
“Ekosistemnya meleot, daya belinya menurun. Ada sebab akibat yang jelas di situ,” ujar Joni. Ia menjelaskan melemahnya permintaan rumah merupakan cerminan dari ekosistem yang tidak solid, mulai dari pembiayaan, regulasi, hingga koordinasi antara pusat dan daerah yang belum berjalan optimal. Akibatnya, program perumahan rakyat berjalan tersendat.
Menurut Joni, pemerintah harus memulai pembenahan dari hulu, bukan sekadar menambal di hilir. “Dari pemerintah dulu. Harus ada pembenahan ekosistem yang solid dan tangguh. Program tiga juta rumah, misalnya, jangan hanya jadi slogan,” katanya.
Ia menilai peran pemerintah daerah (Pemda) juga harus diperkuat. Sebab, urusan perumahan rakyat kini menjadi kewenangan konkuren antara pusat dan daerah. “Aktor pembangunan daerah, dalam hal ini Pemda, harus diperkuat. Pemda provinsi dan kabupaten/kota mesti benar-benar menjalankan perumahan MBR (masyarakat berpenghasilan rendah) secara efektif,” ujarnya.
Di sisi lain, Joni menekankan pentingnya aliran dana yang langsung menyentuh rakyat. “Dana harus dialirkan ke rakyat, agar daya beli dan daya cicil ada. Misalnya lewat KUR perumahan, itu harus sampai ke MBR dan dipadukan dengan kebijakan serta program Pemda,” imbuh Joni.
Pernyataan Joni ini sejalan dengan pandangan Analis Senior dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P. Sasmita. Ia menilai komentar Purbaya menggambarkan realitas kompleks sektor perumahan di Indonesia.
“Benar, backlog memang tinggi. Tapi backlog itu tidak otomatis berarti permintaan efektif juga tinggi. Banyak rumah tangga yang butuh rumah, tapi belum tentu punya kemampuan finansial untuk membeli,” jelas Ronny.
Menurut Ronny, di sinilah letak perbedaan antara kebutuhan (need) dan permintaan (demand) dalam sektor perumahan. “Yang tinggi itu tingkat kebutuhan, bukan permintaan. Karena daya beli stagnan, harga rumah naik terus, sementara pendapatan masyarakat jalan di tempat,” katanya.
Ia menyebut harga rumah di Indonesia nyaris selalu naik setiap tahun, bahkan di tengah stagnasi ekonomi. Sementara itu, biaya hidup dan bunga kredit yang relatif tinggi makin mempersempit ruang gerak kelas menengah dan bawah untuk memiliki rumah.
“Pendapatan naiknya lambat, cicilan dan harga kebutuhan pokok terus naik. Jadi meskipun ada insentif seperti PPN DTP atau FLPP, itu belum cukup mengimbangi tekanan daya beli,” tutur Ronny.
Kebijakan fiskal yang selama ini digadang pemerintah, seperti insentif PPN DTP (Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah) atau tambahan anggaran untuk FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) dinilai hanya menolong sebagian kecil kelompok.
“Insentifnya membantu, tapi sifatnya temporer dan terbatas pada segmen tertentu. Masalah utamanya tetap ada, yaitu mismatch antara harga rumah dan kemampuan beli masyarakat. Dalam bahasa gaulnya, insentifnya kena di kepala, tapi tidak di dompet.” terang Ronny.
Ronny menilai solusi yang dibutuhkan bukan hanya insentif, melainkan reformasi struktural. Pertama, turunkan biaya pembiayaan perumahan. “Bisa lewat subsidi bunga jangka panjang atau skema shared ownership antara pemerintah, pengembang, dan konsumen,” ujarnya.
Langkah kedua, menekan harga rumah dari sisi suplai, yakni dengan memperbanyak pasokan lahan murah dan membangun infrastruktur pendukung di sekitar kawasan perumahan. “Harga tanah dan infrastruktur itu komponen utama pembentuk harga rumah,” jelasnya.
Selain itu, kebijakan peningkatan pendapatan masyarakat kelas menengah bawah juga perlu dipercepat. “Kalau pendapatan tidak naik signifikan, jangankan beli rumah, buat bayar sewa pun makin berat,” katanya.
Ronny juga menyoroti perlunya integrasi kebijakan perumahan dengan pembangunan perkotaan dan transportasi. “Banyak orang akhirnya beli rumah jauh dari tempat kerja karena harganya murah, tapi ongkos transportasinya malah mahal,” ungkapnya.
Dengan kondisi seperti ini, ia menyimpulkan, lemahnya permintaan rumah bukan karena masyarakat kehilangan minat, tetapi karena struktur pasar dan daya beli yang tidak seimbang. “Permintaannya ada, tapi kemampuan membayar tidak ada,” pungkas Ronny.
